Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, kebiasaan” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagaian ahli menyebutnya dbahwa Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman sebaya di lingkungan terdekat. Secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung” yang selalu punya “konco dolanan”. Berbeda dengan anak kota yang sudah sejak dini terasing dari pergaulana karena berada di lingkungan kompleks yang individualistik.
Secara umum masyarakat Jawa hidup dalam norma masyarakat yang relatif masih baik, meskipun pergeseran-pergeserannya ke arah rapuh semakin kuat. Lingkungan buruk yang sering terjadi di sekitar anak, misalnya: kelompok pengangguran, judi yang di”terima”, perkataan jorok dan kasar, “yang-yangan” remaja yang dianggap lumrah, dan dunia hiburan yang tidak mendidik.
Sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak kita di wilayah budaya masyarakat Jawa, seperti: tutur kata bahasa Jawa yang kromo inggil ataupun berbagai peraturan hidup yang tumbuh di dalam budaya Jawa. Masalahnya adalah bagaiamana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas dan Islam.
Namun pada masa kini pengaruh sesungguhnya mana yang buruk dan bukan menjadi serba relatif dan kadang tidak dapat dirunut lagi. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.
Meskipun demikian secara umum berdasarkan penelitian, bahwa anak-anak akan selalu menyalahkan kondisi keluarga manakala mereka menghadapi masalah apa saja, apakah karena keluarganya telah melakukan yang benar apalagi kalau buruk.
Indikasi pengaruh negatif
Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya para orang tua perlu meng-antisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:
(1) Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.
(2) Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalih-kan pada kegiatan non-belajar, seperti: jalan-jalan ke mall, play station, dan tempat nongkrong lain. Berdasarkan penelitian Deteksi Jawapos (Maret 2005) bahwa anak-anak SD sekarang ini mengalami penurunan greget belajar karena memperoleh alternatif mengalihkan perhatian pada (acara TV, hiburan luar ruang, dan jalan-jalan).
(3) Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pencerdasan diri. Berdasarkan pengamatan Prof. Kusdwiratri (Desember, 2004) menurunnya minat intelektual disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal. Perlu diwaspadai jangan sampai pengaruhnya berlangsung permanen.
Pendidikan Integratif
Dengan sitem pengaruh lingkungan seperti sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk hanya menekankan pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem pertahanan diri, anak-anak tetap akan menajdi santapan dunia yang serba modern. Kalau tidak sekarang ya akhirnya akan bersentuhan juga. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya oleh kebanyakan orang tua.
Namun dari berbagai kekhawatiran tersebut, kini mulai muncul berbagai pendidikan alternatif yang bisa dipilih. Namun tetap harus menekankan bahwa pendidikan keluarga adalah inti dan sekolah adalah komplemen pelengkap. Beberapa pilihan cerdas tersebut dapat berupa:
(1) Sekolah fullday yang mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan sains dalam lingkungan terkontrol dan terarah dengan nilai-nilai modernitas dan islami.
(2) Sekolah biasa yang bermutu dengan kontrol yang ketat dalam masalah akhlak dan perilaku dengan memberikan penguatan berupa kursus-kursus dan materi tambahan yang dapat memberikan keunggulan.
(3) Sekolah pesantren dengan menambah penguatan pada aspek sains dan ketrampilan.
Rumahku Surgaku
Bagaimanapun ujung dari pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, yang berbasis rumah. Masalahnya adalah apakah setiap orang tua kita memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan fungsi besar ini? Itulah fungsi besar Ibu-ibu menjadikan rumah sebagai surga melalui tangan bijak sang suami.
Nampaknya ibu-ibu rumah tangga perlu dicerdaskan melalui pendidikan mitra-sekolah. Bahkan di jaman “ibu-ibu sibuk” memasuki dunia kerja, maka para pembantu rumah tangga kita perlu menjadi “Nanny and Govern” yang cerdik pandai seperti Halimah di jaman Nabi yang mampu mengajarkan bahasa Arab dengan kualifikasi terbaik, Yukabad di Jaman Fir’aun yang mampu mengajari Musa bagaimana menjadi pemuda tangguh.
No comments:
Post a Comment